Jumat, 25 Maret 2011

Makalah “Roti Buaya Sebagai Simbol Pernikahan Adat Betawi”

Makalah “Roti Buaya Sebagai Simbol Pernikahan Adat Betawi”
Kata Pengantar
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah Allah SWT, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas “Roti Buaya Sebagai Simbol Pernikahan Adat Betawi”, suatu kebudayaan yang selalu dialami bagi setiap masyarakat Betawi pada saat melangsungkan resepsi pernikahaan.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya kebudayaan Betawi terutama keberadaan roti buaya sebagai simbol adat pernikahan kebudayaan Betawi. Rasa terima kasih Aku persembahkan kepada kedua orang tua aku yang senanitasa memberikan dukungan dan doanya untuk aku yang tidak pernah putus, keluarga yang memberikan motivasi, dosen dan guru-guru yang memberikan ilmu dan pengetahuannya serta teman-teman yang telah membantu.
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat.
Bandung, November 2009
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang Masalah
Disetiap daerah mempunyai simbol pernikahan yang beranekaragam jenis dan bentuknya dan pastinya memiliki arti tersendiri serta kepercayaan dari masing-masing adat dan kebudayaan. Kita pasti tahu apa arti dari simbol pernikahan, yang dimaksud dengan simbol pernikahan adalah sesuatu hal atau barang yang menjadi ciri khas atau identik dari setiap perayaan atau resepsi pernikahan dan selalu ada dalam acara pernikahan tersebut. Banyak yang berangapan bahwa dari suatu jenis atau macam dari simbol pernikahan itu pasti berbeda-beda dari kebudayaan ke budaya lainnya. Dalam hal ini yang menjadi simbol pernikahaan adat betawi yaitu menggunakan roti buaya. Alasan masyarakat Betawi menggunakan simbol buaya adalah kalau dilihat dari sejarahnya bahwa buaya laki itu hanya setia pada satu pasangan buaya perempuan sampai mereka mati itulah yang menjadi dasar dari simbol roti buaya tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah kalau kita sering mendengar atau melihat buaya itu identik dengan hal yang negative contohnya buaya darat istilah ini di identikan dengan orang yang suka mempermainkan orang lain tapi masyarakat Betawi menganggap roti buaya itu sebagai lambang kesetiaan. Biasanya roti buaya yang dibawa pada saat pernikahaan masyarakat Betawi umumnya adalah tiga roti, yang pertama itu roti buaya jantan, yang kedua roti buaya perempuan dan ditambah dengan roti buaya anakan. Sehingga simbol inilah yang menjadi ciri khas sebagai symbol pernikahaan masyarakat betawi saat melakukan resepsi pernikahan.
Setiap acara pernikahan yang mengusung adat Betawi, pasti tak pernah meninggalkan roti buaya. Biasanya roti yang memiliki panjang sekitar 50 sentimeter atau tergantung yang memesan ini dibawa oleh mempelai pengantin laki-laki pada acara serah-serahan. Selain roti buaya, mempelai pengantin laki-laki juga memberikan uang mahar, perhiasan, kain, baju kebaya, selop, alat kecantikan, serta beberapa peralatan rumah tangga. Dari sejumlah barang yang diserahkan tersebut, roti buaya menempati posisi terpenting. Bahkan, bisa dibilang hukumnya wajib. Sebab, roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup-semati.
Menurut Haji Ilyas, salah satu tokoh Betawi di Tanahtinggi, Jakarta Pusat, meski saat ini banyak warga Betawi yang merayakan pernikahan secara modern, tapi mereka masih memakai roti buaya sebagai simbol kesetiaan. Karena roti buaya sudah membudaya bagi warga Betawi. “Adat kite ntu kagak ilang. Masih banyak nyang pake. Kite ambil contoh di kawasan Condet, Palmerah sampe ke Bekasi, malahan sampe Tangerang,” lanjut pria yang sering disapa Haji ini. Sayangnya, saat ini roti buaya tidak mudah dijumpai di toko-toko roti. Untuk itu, bagi pasangan yang akan menikah harus pesan dulu ke tukang roti. Dan harganya juga bervariasi tergantung ukuran yang dipesan, yakni mulai dari 50 ribu hingga ratusan ribu rupiah. Itu sudah termasuk rasa roti, keranjang, dan asesoris pelengkapnya. “Roti buaya adalah kue perayaan, jadi nggak setiap hari ada. Kalau mau beli harus pesan dulu,” kata Ari, salah satu pedagang kue di Pasar Senen. Sejatinya, bagi warga yang sudah terbisa membuat roti, tidak terlalu sulit membuat roti buaya ini. Sebab, bahan dasarnya sangat sederhana, yakni terigu, gula pasir, margarine, garam, ragi, susu bubuk, telur dan bahan pewarna. Keseluruhan bahan tersebut dicampur dan diaduk hingga rata dan halus, kemudian dibentuk menyerupai buaya. Setelah bentuk kemudian dioven/panggang hingga matang.
Roti buaya, katanya roti khas Betawi yang selalu ada di setiap perhelatan orang Betawi, yang makanan pokoknya rasanya beras. Karena dari ujung Sabang sampai sekarang Merauke, orang yang menamakan dirinya orang Indonesia sudah makan nasi. Jadi, boleh diambil kesimpulan roti buaya ini pasti peninggalan sang penjajah yang memang makanannya roti. Kalau begini, mengakui peninggalan atau mengakui sesuatu yang bukan berasal dari kebiasaan penduduk setempat tetapi mempunyai kaitan historis sah-sah sajakan? Kalau memperhatikan cara berpakaian, makanan, tarian, way of life berbagai suku bangsa di Indonesia, yang mana bisa kita katakan ‘ASLI’ Indonesia? Menilik sejarah Indonesia, Indonesia sudah menjadi ‘melting pot’ berbagai ragam budaya manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Asli Indonesia kah Ramayana dan Bharatayuda? huruf-huruf yang digunakan mencatat oleh nenek moyang kita? ASLI Indonesia kah nenek moyang kita? Mudah-mudahan, doa ini terutama buat yang masih muda-muda, bangsa Indonesia tidak terperangkap pada elemen-elemen primordialisme. Memang menjaga milik itu wajib hukumnya, tetapi kita tidak pernah hidup terisolasi dan terpisah dari manusia-manusia lain di muka bumi ini. Jadi, untuk bangga menjadi orang Indonesia, perlukah kita memusuhi tetangga kita sendiri?
Asal muasal adanya roti buaya ini, konon terinspirasi perilaku buaya yang hanya kawin sekali sepanjang hidupnya. Masyarakat Betawi meyakini hal itu secara turun temurun. Selain terinspirasi perilaku buaya, simbol kesetiaan yang diwujudkan dalam sebuah makanan berbentuk roti itu juga memiliki makna khusus. Menurut keyakinan masyarakat Betawi, roti juga menjadi simbol kemampanan ekonomi. Dengan maksud, selain bisa saling setia, pasangan yang menikah juga memiliki masa depan yang lebih baik dan bisa hidup mapan. Karenanya, tak heran jika setiap kali prosesi pernikahan, mempelai laki-laki selalu membawa sepasang roti buaya berukuran besar, dan satu roti buaya berukuran kecil yang diletakkan di atas roti buaya yang disimbolkan sebagai buaya perempuan. Ini mencerminkan kesetian mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sampai beranak-cucu. Tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang.
Yang menjadi motivasi penulis dalam membuat makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada orang lain mengenai ragam kebudayaan di Indonesia khususnya mengenai kebudayaan roti buaya menjadi simbol dari pernikahaan masyarakat Betawi. Selain itu juga untuk mengetahui kenapa masyarakat Betawi menggunakan roti buaya sebagai simbol adat pernikahan dan untuk memahami makna dari roti buaya pada pernikahan adat Betawi yang menjadi simbol masyarakat Betawi serta kebiasaan masyarakat Betawi menjadikan roti buaya sebagai simbol pernikahan.
1. A. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam makalah ini adalah :
1) Mengetahui kenapa masyarakat Betawi menggunakan roti buaya sebagai simbol adat pernikahan.
2) Untuk memahami makna dari roti buaya pada pernikahan adat Betawi yang menjadi simbol masyarakat Betawi.
B. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan makalah ini ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari penjelasan dalam makalah ini, dalam hal ini manfaat penelitian dari penulisan makalah ini terbagi dua yaitu: Manfaat untuk penulis itu sendiri, manfaat dari yang mambaca. Manfaat untuk penulis adalah untuk mengetahui dan mendalami sejauh mana roti buaya menjadi simbol pernikahaan adat Betawi. Sedangkan manfaat dari pembaca adalah untuk mendapatkan informasi, berbagi pengetahuan dan juga mengetahui alasan kenapa masyarakat Betawi menggunakan roti buaya sebagai simbol dari pernikahan adat Betawi.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut di atas, maka dapat penulis rumuskan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu “Mengapa Roti buaya menjadi simbol pernikahan adat Betawi”.
D. Pembatasan Masalah
Karena keterbatasan waktu maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas antara lain:
1) Bagaimana masyarakat Betawi menjadikan roti buaya sebagai simbol pernikahan.
2) Bagaimana asal mula roti buaya bisa dijadikan sebagai simbol pada pernikahan adat Betawi.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika yang dipergunakan dalam penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah dan pokok-pokok pembahasan, tujuan dan manfaat dari penelitian serta sistematika penulisan makalah.
Bab II. Isi
Berisikan dasar teori yang mendasari keseluruhan topik makalah ini; Sekilas tentang Betawi, bahasa Betawi, seni dan kebudayaan betawi, Kepercayaan, Profesi, Perilaku dan sifat. Roti buaya sebagai simbol pernikahan adat Betawi, Asal mulanya roti buaya menjadi simbol pernikahan adat Betawi, sekilas tentang sejarah buaya.
Bab III. Penutup
Berisi tentang kesimpulan dan saran dari peneliti.
BAB II
ISI
A. Sekilas Tentang Betawi
Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanagara yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat disini. Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa.
1. 1. Bahasa Betawi
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris. Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
2. Seni dan kebudayaan Betawi
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
3. Kepercayaan
Orang Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
4. Profesi dan Perilaku serta sifat Masyarakat Betawi
Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan. Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji’ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk “terpaksa” memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini . Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain Jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orang tua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi, terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.
B. Roti Buaya Sebagai Simbol Pernikahan Adat Betawi
Setiap acara pernikahan yang mengusung adat Betawi, pasti tak pernah meninggalkan roti buaya. Biasanya roti yang memiliki panjang sekitar 50 sentimeter ini dibawa oleh mempelai pengantin laki-laki pada acara serah-serahan. Selain roti buaya, mempelai pengantin laki-laki juga memberikan uang mahar, perhiasan, kain, baju kebaya, selop, alat kecantikan, serta beberapa peralatan rumah tangga. Dari sejumlah barang yang diserahkan tersebut, roti buaya menempati posisi terpenting. Bahkan, bisa dibilang hukumnya wajib. Sebab, roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup-semati.
Selain itu masyarakat Betawi telah turun temurun menggunakan roti buaya sebagai simbolisasi disetiap pernikahan adat Betawi. Kenapa bentuknya buaya? tapi kita sering mendengar bahwa ada istilah Buaya Darat alias mata keranjang? Persepsi ini yang perlu dijelaskan. Buaya adalah hewan yang panjang umur dan paling setia kepada pasangannya, buaya itu hanya kawin sekali seumur hidup, sehingga orang Betawi menjadikannya sebagai Lambang Kesetiaan dalam rumah tangga. Selain itu buaya termasuk hewan perkasa & hidup di dua alam, ini juga bisa dijadikan lambang dari harapan agar rumah tangga menjadi tangguh & mampu bertahan hidup di mana aja. Roti Buaya ini dibuat sepasang, yang betina ditandai dengan roti buaya kecil yg diletakan di atas punggungnya atau di samping. Maknanya adalah kesetiaan berumah tangga sampai beranak cucu. Peningset ini harus dijaga sepanjang jalan, supaya tetap mulus hingga sampai ke tangan penganten perempuan. Selain itu, roti memiliki makna sebagai lambang kemapanan, karna ada anggapan bahwa roti merupakan makanan orang golongan atas. Pada saat selesai akad nikah, biasanya roti buaya ini diberikan pada saudara yang belum nikah, hal ini juga memiliki harapan agar mereka yang belum menikah bisa ketularan dan segera mendapatkan jodoh.
C. Asal mulanya roti buaya menjadi simbol pernikahan adat Betawi
Asal mula adanya roti buaya ini, konon terinspirasi perilaku buaya yang hanya kawin sekali sepanjang hidupnya. Dan masyarakat Betawi meyakini hal itu secara turun temurun. Selain terinspirasi perilaku buaya, simbol kesetiaan yang diwujudkan dalam sebuah makanan berbentuk roti itu juga memiliki makna khusus. Menurut keyakinan masyarakat Betawi, roti juga menjadi simbol kemampanan ekonomi. Dengan maksud, selain bisa saling setia, pasangan yang menikah juga memiliki masa depan yang lebih baik dan bisa hidup mapan. Karenanya, tak heran jika setiap kali prosesi pernikahan, mempelai laki-laki selalu membawa sepasang roti buaya berukuran besar, dan satu roti buaya berukuran kecil yang diletakkan di atas roti buaya yang disimbolkan sebagai buaya perempuan. Ini mencerminkan kesetian mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sampai beranak-cucu. Tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang.
Menurut Haji Ilyas, salah satu tokoh Betawi di Tanahtinggi, Jakarta Pusat, meski saat ini banyak warga Betawi yang merayakan pernikahan secara modern, tapi mereka masih memakai roti buaya sebagai simbol kesetiaan. Karena roti buaya sudah membudaya bagi warga Betawi. “Adat kite ntu kagak ilang. Masih banyak nyang pake. Kite ambil contoh di kawasan Condet, Palmerah sampe ke Bekasi, malahan sampe Tangerang,” lanjut pria yang sering disapa Haji ini. Sayangnya, saat ini roti buaya tidak mudah dijumpai di toko-toko roti. Untuk itu, bagi pasangan yang akan menikah harus pesan dulu ke tukang roti. Dan harganya juga bervariasi tergantung ukuran yang dipesan, yakni mulai dari 50 ribu hingga ratusan ribu rupiah. Itu sudah termasuk rasa roti, keranjang, dan asesoris pelengkapnya. “Roti buaya adalah kue perayaan, jadi nggak setiap hari ada. Kalau mau beli harus pesan dulu,” kata Ari, salah satu pedagang kue di Pasar Senen.
Sejatinya, bagi warga yang sudah terbisa membuat roti, tidak terlalu sulit membuat roti buaya ini. Sebab, bahan dasarnya sangat sederhana, yakni terigu, gula pasir, margarine, garam, ragi, susu bubuk, telur dan bahan pewarna. Keseluruhan bahan tersebut dicampur dan diaduk hingga rata dan halus, kemudian dibentuk menyerupai buaya. Setelah bentuk kemudian dioven/panggang hingga matang.
D. Sekilas Tentang Sejarah Buaya
Kata buaya berasal dari bahasa Yunani yang umum digunakan untuk mengacu kepada kadal. Souchian adalah istilah ilmiah untuk buaya yang berasal dari kata Archosuchian, di mana awalan Arho berarti Tua/Kuno dan Souchian sebagai bentuk distorsi bahasa Yunani Untuk “Sobek” yaitu sosok Dewa buaya Mesir. Sobek di sembah sebagai manifestasi dewa matahari atau Ra; dan kota yang merupakan sentra penyembahan dewa tersebat adalah Crocodilopolis. Buaya memiliki makna yang berbeda-beda dari setiap tempat dan menurut lambang buaya juga memiliku arti tersendiri yaitu:
1) Pada zaman Mesir Kuno buaya sering diasosiasikan dengan kebijaksanaan
2) Di Eropa buaya diasosiasikan dengan kekayaan.
3) Di China buaya ditulis dalam suatu karakter(tulisan kanji kuno) pada satu milenium sebelum Kristus lahir. Saat itu dianggap sebagai suatu massa penuh dosa dan kejahatan. Buaya juga dipercayai sebagai sebuah simbol ketidakberuntungan
4) Di Afrika, buaya disembah karena dianggap sebagai sebagai penerima spirit dari leluhurnya
5) Di Asia Tenggara buaya dianggap sebagai reinkarnasi. Ada sebuah versi dongeng mengisahkan Seorang Putri dari Kupang (Timur Barat) mempersembahkan seorang pelayan perempuan yang cantik sebagai istri untuk nenek moyang mereka.
6) Di Kalimantan, buaya dianggap sebagai saudara yang memiliki hubungan darah yang erat dan dapat mengusir setan.
7) Orang Aborigin tempo dulu membuat ukir-ukiran dibatu dengan pesan bahwa buaya akan kembali dalam 30 ribu tahun, termasuk ukiran yang menunjukkan seekor buaya yang melahirkan manusia.
8) Di Peninsula, hanya beberapa orang yang diijinkan makan telur buaya dan ini adalah bentuk kuno konservasi.
9) Di daratan Papua, buaya muncul pada ukir-ukiran Suku Asmat dan Kamoro di daerah pantai selatan Papua.
10) Di Teluk Etna Papua, pernah terlihat kerangka buaya yang diletakkan di atas batu beberapa meter di atas air dan diberikan sesajen berupa kacang betel dan makanan dalam piring porselin.
BAB III
SARAN DAN KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Setiap acara pernikahan yang mengusung adat Betawi, pasti tak pernah meninggalkan roti buaya. Biasanya roti yang memiliki panjang sekitar 50 sentimeter atau tergantung yang memesan ini dibawa oleh mempelai pengantin laki-laki pada acara serah-serahan. Buaya adalah hewan yang panjang umur dan paling setia kepada pasangannya, buaya itu hanya kawin sekali seumur hidup, sehingga orang Betawi menjadikannya sebagai Lambang Kesetiaan dalam rumah tangga. Selain itu buaya termasuk hewan perkasa & hidup di dua alam, ini juga bisa dijadikan lambang dari harapan agar rumah tangga menjadi tangguh & mampu bertahan hidup di mana aja.
Roti Buaya ini dibuat sepasang, yang betina ditandai dengan roti buaya kecil yg diletakan di atas punggungnya atau di samping. Maknanya adalah kesetiaan berumah tangga sampai beranak cucu. Peningset ini harus dijaga sepanjang jalan, supaya tetap mulus hingga sampai ke tangan penganten perempuan. Selain itu, roti memiliki makna sebagai lambang kemapanan, karna ada anggapan bahwa roti merupakan makanan orang golongan atas. Pada saat selesai akad nikah, biasanya roti buaya ini diberikan pada saudara yang belum nikah, hal ini juga memiliki harapan agar mereka yang belum menikah bisa ketularan dan segera mendapatkan jodoh.
Hal inilah yang membudaya sehingga keberadaan roti buaya sebagai simbol pernikahan ada Betawi tidak bisa lepas dan hal ini sudah turun temurun dilakukan olah masyarakat Betawi. Selain roti buaya yang menjadi symbol dari pernikahan ada Betawi pasti masih banyak lagi symbol-simbol pernikahan ada lainnya. Oleh karena itu kita harus bisa melestarikan dan menjaga kebudayaan yang kita miliki sehingga kebudayaan kita bisa dipertahankan dan dikenal oleh bangsa lain, nilai-nilai itulah yang perlu ditanamkan oleh generasi muda sekarang.
B. Saran
Kebudayaan Indonesia itu banyak sekali sudah seharusnyalah kita berbangga dan menghargai kebudayaan kita ini. Dari Sabang sampai Merauke puluhan budaya Indonesia tidak bisa terkira dan ternilai harganya. Kita sebagai generasi muda sudah seharusnya bisa membudayakan dan melestarikan kebudayaan asli Indonesia dan jangan hanya atau bisa mencontoh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma atau nilai adat ke-timur-timuran. Umumnya masyarakat Indonesia lebih bangga terhadap budaya asing yang lebih mengedepankan budaya yang bermewah-mewah dan lebih gaya tapi melupakan budaya asli. Setelah diklaim oleh bangsa lain barulah kita rebut dan ingin mempertahankannya. Hal inilah yang membuktikan bahwa masih kurangnya penghargaan dan juga penghormatan kepada budaya asli Indonesia sehingga setelah hak kekayaan intelektualnya diakui oleh orang atau bangsa lain kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Sudah saatnya kita bangkit dan melestarikan budaya kita, walaupun Negara kita ini menggunakan asas demokrasi akan tetapi ada nilai-nilai yang perlu kita hormati dan junjung tinggi yaitu nilai budaya yang tidak ternilai harganya. Bangsa lain saja bisa menghargai keberanekaragaman budaya kita bahkan mereka mengakui itu tapi kenapa kita tidak bisa menghargai dan juga mempertahankanya. Jangan sampai budaya asli kita kalah atau luntur karena budaya asing yang masuk tapi juga harus bisa mempertahankan dan menjaga serta mempromosikan budaya kita agar dikenal oleh bangsa lain. Oleh karena itu nilai kebanggaan perlu kita tanamkan dan juga kita tegakkan agar kita bisa menjadi bangsa yang berbudaya dan bisa menghargai budayanya.
Daftar Pustaka
Ardan, S. M., Sjafi’ie, Irwan. H., Saputra, Andi, Yahya (2000). Siklus Betawi: upacara dan adat istiadat, Lembaga Kebudayaan Betawi bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta.
Liliweri, Alo, Dr, M, S. (2002). Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya, Jakarta: LKiS Yogyakarta.
Roti Buaya Simbol Kesetiaan, From: Kompas 2009, http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/06/19/09403272/Roti.Buaya.Simbol.Kesetiaan
Simbolisasi Roti Buaya di Pernikahan Betawi, From: http://kosmo.vivanews.com/news/read/70568-simbolisasi_roti_buaya_di_pernikahan_betawi

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda