Kamis, 31 Maret 2011

SEJARAH KERAJAAN SRIWIJAYA

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu Kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya. Dan di akhir masa, kerajaan ini takluk di bawah kerajaan Majapahit.

Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia). Namun Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di provinsi Jambi sekarang, yaitu pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi.

Pembentukan dan pertumbuhan

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I-tsing.

Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu setempat.Dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa, Kerajaan Minanga takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan.

Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka, Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

Di abad ke-9, wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung Malaya, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Filipina.Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13.

Masa keemasan

Di tahun 902, Sriwijaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dengan Arab yang memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan.

Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.

Penurunan
ahun 1025, Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel, India selatan, menaklukkan Kedah dan merampasnya dari Sriwijaya. Kemudian Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan berhasil penaklukan Sriwijaya, selama beberapa dekade berikutnya keseluruh imperium Sriwijaya berada dalam pengaruh Rajendra Coladewa. Meskipun demikian Rajendra Coladewa tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Setelah invasi tersebut, akhirnya mengakibatkan melemahnya hegemoni Sriwijaya, dan kemudian beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri, dan kemudian muncul Kerajaan Dharmasraya, sebagai kekuatan baru dan kemudian mencaplok kawasan semenanjung malaya dan sumatera termasuk Sriwijaya itu sendiri.

Antara tahun 1079 - 1088, kronik Tionghoa masih mencatat bahwa San-fo-ts'i masih mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirim utusan dimana pada masa itu Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan dengan pengiriman utusan selanjutnya di tahun 1088.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[15]yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), Sin-t'o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan (Kamboja)

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dimana pusat pemerintahan dari San-fo-tsi telah berpindah, jadi, dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya yang sebelumnya merupakan daerah bawahan dari Sriwijaya dan berbalik menguasai Sriwijaya beserta daerah jajahan lainnya.

Pada tahun 1275, Singhasari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, melakukan suatu ekspedisi, dalam Pararaton disebut semacam ekspansi dan menaklukan bhumi malayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu, yang kemudian Kertanagara raja Singhasari menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Melayu di Dharmasraya seperti yang tersebut dalam Prasasti Padang Roco. Dan selanjutnya pada tahun 1293, muncul Majapahit sebagai pengganti Singhasari, dan setelah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi naik tahta, memberikan tanggung jawab kepada Adityawarman, seorang peranakan Melayu dan Jawa, untuk kembali menaklukkan Swarnnabhumi pada tahun 1339. Dan dimasa itu nama Sriwijaya sudah tidak ada disebut lagi tapi telah diganti dengan nama Palembang hal ini sesuai dengan Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit.

Dalam Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan juga disebut 'Arya Damar' sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada dalam menaklukkan Bali pada tahun 1343, Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman. Dan kemudian pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura sesuai dengan manuskrip yang terdapat pada bagian belakang Arca Amoghapasa. Kemudian dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yang kemungkinan ditulis sebelum pada tahun 1377 juga terdapat kata-kata bumi palimbang.

Sementara Suma Oriental yang ditulis oleh Tomé Pires antara tahun 1513 dan 1515 juga menyebutkan bahwa Palembang pada waktu itu telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa

Warisan sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat Melayu pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.

Berdasarkan Hikayat Melayu, pendiri Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang, keturunan keluarga bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-15 keagungan, gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan, dan segenap bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand Selatan yang menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini telah melekat dengan kota Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pula Kodam Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda