Minggu, 03 April 2011

Nurcholish Madjid : Modernisasi, Sekularisasi dan Desakralisasi

PENDAHULUAN

Ketika Dunia Timur ( baca: Dunia Islam) tengah menjalin kontak dengan Barat (baca: Eropa) pada sekitar abad ke XVIII M., maka amat terkejut melihat kemajuan Eropa yang amat pesat. Dunia timur tidak mengira bahwa , Eropa yang pernah belajar dari Timur telah begitu maju. Hal itu membuat para pemikir Islam merenungkan apa yang perlu di lakukan untuk mencapai kemajuan kembali sebagaimana pondasi dasar yang pernah di letakkan oleh para pemikir Muslim pada zaman klasik sekitar tahun 650 – 1250 M. sebagai puncak kemajuan ilmu pengetahuan Islam.[1]

Melihat perubahan sosial yang berlangsung secara drastis, akibat pengaruh kebudayaan Barat yang merambah keseluruh dunia, telah memunculkan beberapa tokoh pembaharu yang concern akan relevansi agamanya bagi dunia modern. Seperti Muhammad Arkoun ( mewakili komunitas Muslim Modern di Afrika), Fazlur Rahman ( Pakistan – Asia), Nurcholish Madjid ( Indonesia) dan para tokoh modernis di belahan dunia Islam lainnya. Yang mana dalam menghadapi dampak perubahan sintem berfikir maupun struktur sosial sangat menuntut penyelesaian-penyelesaian yang bersifat dialektis, bukan lagi secara normatif. Problematika lain yang tak kalah penting adalah, adanya fenomena baru , dimana para pemikir Muslim tersebut lebih cenderung berkiblat kerpada dunia Barat, sehingga tak mengherankan apabila penyebaran serba – isme Barat, seperti ide tentang sosialisme atheis, sekularisme, modernisme, liberalisme kapitalis, dan sebagainya banyak mewarnai dalam dunia Islam. Dalam iklim pembaruan semacam ini, kehadiran tokoh , seperti Nurcholish Madjid yang di pandang sebagai pemikir modern yang paling kreatif di Indonesia, perlu di telusuri ide-ide pembaharuannya, terutama dalam hal modernisasi, sekularisasi, dan desakralisasi. Penelitian yang lebih di pusatkan pada gagasan tersebut adalah wajar, mengingat keterkaitan intelektual Muslim ( Nurcholish Madjid) yang pernah di besarkan dalam alam liberalisme, dan dalam didikan keislaman di dunia akademis Barat yang sekuler, seperti di Chicago University Amerika Serikat. Dari gambaran tersebut di atas, memunculkan beberapa rumusan pertanyaan penting diantaranya:

A. Apa sesungguhnya yang di maksud dengan , modernisasi, sekularisasi dan desakralisasi !

B. Siapa sesungguhnya tokoh intelektual Nurcholish Madjid !

C. Bagaimana sebenarnya ide-ide Nurcholish Madjid di sekitar , modernisasi, sekularisasi dan desakralisasi !

MODERNISASI, SEKULARISASI DAN DESAKRALISASI DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID

Pengertian

Modernisasi

Kata modernisasi yang berasal dari kata “modern”, atau “modernisme”, seperti kata lainnya yang berasal dari Barat, telah di pakai dalam bahasa Indonesia yang berarti “terbaru , mutakhir, atau bisa berarti sikap dan cara berfikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman”.[2] Dalam masyarakat Barat “modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[3] Pikiran dan aliran ini telah muncul sejak tahun 1650 hingga sekitar tahun 1800., suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai “The Age of Reason” atau “Enlightenment”, yakni masa pemujaan akal. Arnold Toynbee, sejarahwan terkenal, mengatakan bahwa, modernitas telah mulai sejak menjelang akhir abad ke XV M., ketika orang Barat berterimakasih tidak lagi kepada Tuhan, tetapi kepada dirinya sendiri karena ia telah berhasil mengatasi kungkungan kristen abad pertengahan.[4]

Yang jelas paham ini mempunyai pengaruh besar pada masyarakat Barat, dan segera memusuhi kelapangan agama Khatolik, karena di pandang sebagai penghalang kemajuan, akhirnya aliran ini melahirkan apa yang di sebut “sekularisme”.

Sekularisasi

Arti sekularisme atau sekularisasi yang berasal dari kata latin “Saeculum”, berarti abad atau zaman sekarang ini ( age, century atau ciecle).[5] Suatu misal , secular games ( permainan yang terjadi sekali dalam seratus tahun) dan secular trees (pohon yang berumur seabad). Selanjutnya “Sekular” mengandung arti “bersifat duniawi “ (temporal, worldly ).[6] Dari sini “sekular” sering dilawankan dengan hal yang bersifat “ukhrawi” atau yang bersifat keagamaan ( religious, sacred dan ecclesiastique).

Jadi bila “sekular” berarti “bersifat duniawi”, maka sekularisme berarti “doktrin, policy, atau keadaan menduniawikan, yaitu melepaskan hidup duniawai dari ikatan-ikatan agama”. Dan “sekularisasi” ialah proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hiduip duniawi dari kontrol agama.

Desakralisasi

Desakralisasi, dilihat dari segi bahasa, berasal dari kata Inggris “sacral”, yang berarti suci, keramat atau angker.[7] Kata ini sepadan dengan istilah “demitologisasi”, artinya proses pembuangan nilai-nilai mitologis.[8] Jadi bila demikian kata “desakralisasi” yang dimaksud adalah, suatu proses pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dari beberapa aspek kehidupannya, hal ini tidak dimaksudkan penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai – nilai kemasyarakatannya.[9]

Biografi Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid , lahir di Mojoanyar, Jombang, 17 Maret 1939, adalah staf pada Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI), Jakarta. Juga menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pendidikan dimulai di Pesantren Rejoso, Jombang, dan kemudian di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Melanjutkan ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam IAIN Syarif Hidayatullah dan tamat pada 1968. Sejak tahun 1978-1984 melanjutkan pendidikan tingkat doktoralnya di University of Chicago dan meraih gelar Ph.D. dengan desertasinya berjudul, Ibn Taimiya on Kalam and Falsafah : Problem of Reason and Relevation in Islam ( Ibn Taimiyah tentang Kalam dan Falsafat : Suatu Persoalan Hubungan antara Akal dan Wahyu dalam Islam). Pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam dua periode (1966-1969 dan 1969-1971), Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Asisten Sekretaris Jendral International Islamic Federation of Students Organizations (IIFSO). Banyak menulis artikel di berbagai media massa. Karya-karyanya dalam bentuk buku, antara lain : The Issue of Modernization Among Muslims in Indonesia,” dalam Gloria Davis (Ed.), What is Modern Indonesian ? (1979), “Islam in Indonesia: Challenges an Opportunities,” dalam Cyriac K. Pullapilly (Ed.,), Islam in the Contemporary World (1980), Khazanah Intelektual Islam, sebagai editor (1984), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (1988), Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Krisis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992), Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (1993), Pintu-pintu Menuju Tuhan (1994), Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995), Islam Agama Peradaban (1995), Kaki Langit Peradaban Islam(1997), Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia ((1997), Masyarakat Religius 1997), Perjalanan Religius Umrah dan Haji (1997), Bilik-Bilik Pesantren (1997), Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (1998), Cita-cita Politik IslamEra Reformasi (1999) dan sebaginya. Pengakuan atas perannya dalam kancah pemikiran keislaman di Indonesia tampak pada kenyataan di jadikannya pemikiran-pemiiran tokoh ini sebagai bahan beberpa disertasi doktoral sekaligus, di samping pembahasan-pembahasan dalam setiap karya tulis mengenai masalah tersebut.[10]

Pandangan Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi, Sekularisasi dan Desakralisasi

Pandangan Pemikiran Tentang Modernisasi

Zaman modern sekarang , menurut Nurcholish Madjid akan lebih tepat jika di sebut sebagai “zaman teknik” (technical age), karena awal munculnya ada peran central teknikalisme serta bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme itu sendiri. Dimana wujud keterkaiatan tersebut adalah akibat dorongan besar terjadinya Revolusi industri (teknologis) di Inggris dan Revolusi Sosial-Politik di Perancis. Adapun ide modernisasi yang dikembangkan adalah lebih di letakkan di atas dasar materialisme.[11] Nurcholish Madjid memandang , bahwa modernisasi yang di tawarkan adalah “Rasionalisasi” , bukan westernisasi. Sebab modernisasi yang berasal dari kata “modern” adalah mengisyaratkan adanya suatu penilaian tertentu yang cenderung positif, sehingga modern dalam pengertian inilah yang di terima oleh Nurcholish Madjid. Dengan modernisasi, ia berusaha untuk memberi “jawaban Islam” terhadap masalah-masalah modern yang tengah dihadapi sekarang ini. Dimana inti jawabannya tercakup dalam kesimpulan sikapnya, yang mengatakan: “Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang di topang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan. Akan tetapi kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang menyatakan bahwa modernisasi adalah westernisasi, sebab westernisasi merupakan suatu total way of life, dimana faktor paling menonjol adalah sekularisme dengan segala percabangannya.[12] Selanjutnya ia menjelaskan, mengapa Nurcholish Madjid menolak “Sekularisme”, sebab ada kaitannya dengan “atheisme”. Dan atheisme adalah puncak sekularisme, dan sekularisme itulah yang sebenarnya sebagai sumber segala imoralitas.[13]

Pandangan Nurcholish diatas, oleh seorang sarjana Muslim Malaysia, yang mengangkat tesis doktornya mengenai gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, menilai bahwa, pandangan itu adalah merupakan cerminan pandangan Muslim idealis.[14]

Gagasan Nurcholish Madjid tentang makna modernisasi yang “Rasionalisasi”, adalah lebih ditunjukkan sebagai kritik kepada diri umat Islam itu sendiri. Dimana ia menganjurkan adanya pembaharuan pemahaman Islam agar tidak dijadikan doktrin tanpa pengembangan, sehingga ia lebih suka memakai istilah-istilah, seperti : liberalisasi, desekularisasi, desakralisasi, intellectual fredoom, ijtihad, ide of progress, keadilan sosial dan demokrasi, yang pada dasarnya di maksudkan untuk menolak bentuk-bentuk tradisionalisme dan sektarianisme.

Bila di simak secara seksama berbagai tulisan Nurcholish Madjid tentang ide modernisasi, sesungguhnya bermaksud memberi landasan secara teologis, terutama bagi gologan intelektual, agar mampu memberi respon positif terhadap proses modernisasi. Namun tetap bertolak kepada faktor iman, artinya , ia berusaha menafsirkan ideologi modernisasi itu bertolak dari ajaran Islam, bukan seperti modernisasi yang di kembangkan Barat, karena diletakkan di atas dasar faham materialisme dan sekularisme.

Pandangan Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Sekularisasi

Sekali lagi, Nurcholish Madjid sangat menolak adanya persamaan istilah antara “sekularisasi” dengan istilah “Sekularisme”, yang membuat umat Islam selalu berorientasi pada duniawi. Sekularisasi menurutnya, merupakan suatu proses yang dinamis, sebagai istilah deskriptif , sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah , dimana masyarakat dan kebudayaan di bebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Sehingga sekularisasi pada dasarnya merupakan perkembngan pembebasan. Hal itu sangat berbeda dengan istilah “Sekularisme”, sebab ia, adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup, yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru. Selanjutnya Nurcholish Madjid menegaskan, bahwa sekularisme adalah faham keduniawian, faham ini mengatakan bahwa kehidupan duniawi adalah mutlak dan terakhir. Tidak ada lagi kehidupan sesudahnya. Oleh karena itu , ia menolak sekularisme , sebab sangat bertentangan dengan agama, khusunya Islam.[15] Dan sekularisme sebagai sentral keyakinan tersebut dapat di jumpai dalam Al-qur’an , Surat al-Jassiyah, ayat: 24; yang memberi gambaran sebagai berikut :

“ Mereka (orang-orang kafir itu) berkata ; tidak ada kehidupan kecuali kehidupan dunia kita ini saja. Kita dan kita hidup, dan tidak ada sesuatu yang membinasakan kita, kecuali masa, …”.[16]

Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan, bahwa perbedaan antara sekularisme dan sekularisasi adalah seperti paham dan proses. Dimana sekularisasi tanpa sekularisme, adalah proses penduniawian tanpa harus berpaham keduniawian. Ungkapan dan anjuran Nurcholish Madjid tentang hal skulasisasi yang banyak menuai badai kritik , diantaranya ialah : (a) Urusan bumu ini adalah diserahkan kepada umat manusia. Karena manusia diberi wewenang penuh untuk memahami dunia ini. (b) Akal pikran adalah alat manusia untuk memahami dan mencari pemecahan masalah-masalah duniawi. (c) Terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisme, juga antara rasionalisasi dengan desakralisasi ( yang secara sosiologis sebagai sekularisasi dalam memandang yang sakral bukan lagi sakral). (d) Membedakan antara hari dunia dan hari agama. Dimana pada hari dunia yang berlaku adalah hukum kemasyarakatan manusia, dan pada hari agama yang berlaku adalah hukum ukhrawi. (e) Bismillah artinya, atas Nama Tuhan dan bukan Dengan Nama Allah. (f) Al-Rahman adalah sifat kasih Tuhan di dunia dan Al-Rahim , adalah kasih Tuhan di akherat. (g) Dimensi kehidupan duniawi adalah ‘Ilmu, dan kehidupan spiritual adalah ukhrawi. (h) Islam adalah “din”, dan “din” , adalah agama, dan agama adalah tidak bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosiologis dan sebagainya. (i) Apa yang di sebut negara Islam itu tidak ada. [17]

Dari ide-ide tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa, sekularisasi yang dianjurkan Nurcholish Madjid adalah telah sampai pada tingkat pemisahan antara dunia dan urusan akhirat, dimana soal dunia adalah soal dunia, dan soal akhirat adalah soal akhirat. Karena diantara keduanya terdapat garis pemisah yang jelas.

Pandangan Nurcholish Madjid Tentang Desakralisasi

Dalam masalah “desakralisasi” ini, Nurcholis Madjid lebih mengikuti pendapat Robert N. Billah, yang secara sosiologis menyamakan antara “desakralisasi”, dengan “sekularisasi” . Dimana desakralisasi adalah suatu bentuk proses sosiologis yang banyak mengisyaratkan kepada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul , dalam arti tidak sepenunya mengarah pada penghapusan orientasi keagamaan , seperti norma-norma, dan nilai-nilai sosiologis lainnya. Proses pembebasan dari ketakhayulan tersebut bisa terjadi karena dorongan , atau kelanjutan logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monotheisme, dimana hanya Tuhanlah yang harus menjadi pusat rasa kesucian.[18] Dari pendapat Bellah ini, Nurcholish memaknai “desakralisasi” ialah suatu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari obyek-obyek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Jadi jika di proyeksikan kepada situasi modern Islam seperti sekatrang ini, kata Nurcholish ; maka sekularisasi atau desakralisasinya Robert N. Bellah itu akan mengambil bentuk pemberantasan terhadap bid’h, khurafat dan praktek-praktek syirik lainnya, yang sangat cocok sebagai konsekuensi pemurnian terhadap tauhid. Karena tauhid itu sendiri menurut Nurcholish adalah, selalu menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk Tuhan. Namun bagi sementara orang, justru merupakan bentuk sakralisasi kegiatan manusia. Seperti, adanya pensucian atau penyembahan terhadap berbagai obyek selain kepada Tuhan , yang dalam pandangan Islam termasuk manifestasi dari bentuk “politheisme” (Syirik).

Kemudian Nurcholish menutup pernyataannya dengan kata-kata: Bagaimanapun juga , pandangan saya tentang sosiologi sekularisasi yang biasa disebut desakralisasi, memang harus diakui masih terdapatnya perbedaan pandangan bahkan sempat menyulut kontroversi di sekitar istilah tersebut. Hal itu dapat dilihat dari penolakan pak Rasyidi atas penggunaan istilah sekularisasi dan yang semacamnya, sebab bagaimanapun juga yang namanya sekularisasi tetap tak mungkin terlepas dari induk semangnya, yaitu “Sekularisme”, itu sendiri.

PENUTUP

Dari uraian singkat tentang pemikiran Nurcholish Madjid di sekitar masalah, “Modernisasi, Sekularisasi dan Desakralisasi”, dapatlah penulis simpulkan adanya beberapa hal penting di dalamnya, diantaranya:

* Modernisasi yang di tawarkan Nurcholish Madjid pada intinya adalah “Rasionalisasi”, hal itu di maksudkan sebagai usaha untuk memberi “jawaban Islam”, terhadap masalah – masalah baru di sekitar modernisasi itu sendiri. Dan ide modernisasi Nurcholish ini, masih berorientasi kepada agama yang dianutnya (Islam), tidak sebagaimana modernisasi ala Barat, yang meletakkan dasarnya di atas “Materialisme”.
* Adapun pandangan Nurcholish tentang “Sekularisasi dan Desakralisasi”, yang ditawarkannya, adalah lebih sebagai kritik terhadap kemunduran ummat Islam, akibat ketertutupannya terhadap urusan duniawi, terbelenggu oleh doktrin yang mutlak, dan masih banyaknya praktek-praktek sakralisasi yang salah, tidak sesuai dengan kemurnian tauhid, sehingga banyak yang terjerumus dalam hal bid’ah, khurafat dan syirik. Maka untuk mengatasi kelemahan tersebut , sekularisasi dan desakralisasi sangatlah diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Agama RI, Departemen. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Refisi ; Surabaya : Mahkota, 1989.

De Curzon, Alfred. Cassell’s French-English, English-French School Dictionary, London : Cassel and Company, ltd. T.th.

Kamal Hassan, Muhammad. Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1960.

Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet. Ke-IV; Bandung: Mizan, 1991.

——————. Islam Doktrin dan Peradaban-Sebuah Telaah Kritis Tentang masalah keimanan, kemanusiaan, dan kemoderenan, Cet. Ke- 2; Jakrta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam-Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. Ke-9; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

——————-. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Cet. Ke-1; Bandung : Mizan, 1995.

N. Bellah, Robert. Beyond Belief, New York: Harper & Row Publishers, 1970.

Parsons, Talcoot, (et al). Theories of Society : Foundation of Modern Sociological Theory, New York: Free Press, 1961.

Poerwadarminto.W.J.S., Wojowasito. S. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Cet. Ke-3; Bandung: Penerbit Hasta, 1980.

Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke- 1; Jakarta : Balai Pustaka, 1988.

Toynbee , Arnold. A Study of History, di ringkaskan oleh D.D. Somervelle, Jilid 2 , Oxford: Oxford University Press, 1957.

[1] Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam- Sejarah Pemikiran dan Gerakan, ( Cet. Ke-9 ; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 13.

[2] Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (cet. Ke-1; Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 589.

[3] Lihat Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan Dan Pemikiran, ( Cet. Ke-1 ; Bandung : Mizan, 1995), h. 181.

[4] Lihat Arnold Toynbee, A Study of History, diringkaskan oleh D.D Somervelle, ( Oxford : Oxford University Press, 1957), Jilid-2, h.148.

[5] Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, (cet. Ke-IV; Bandung : Mizan, 1991), h. 216.

[6] Lihat Alfred de Curzon, Cassell’s French – English , English – French Scool Dictionary, ( London : Cassel and Company, Ltd. T.th), h. 186.

[7] Lihat S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia –Inggris, (cet.ke- 3; Bandung: Penerbit Hasta, 1980),h. 184, 29.

[8] Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban- Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan,dan Kemodernan, (cet. Ke-2; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. xxv.

[9] Lihat Talcoot Parsons, (et el.), Theories of Society: Foundation of Modern Sociologyal Theory, ( New york: Free Press, 1961), h. 24-28.

[10] Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan… , Op.Cit., t.h.

[11] Ibid., h. 460.

[12] Ibid., h.18.

[13] Ibid.

[14] Lihat Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1960),h. 21-30.

[15] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan, Op.Cit., h. 218-219.

[16] Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Revisi, (Surabaya : Mahkota, 1989), h.818.

[17] Lihat Nurcholish, Islam Kemodernan, Op.Cit., h. 226-260.

[18] Lihat Robert N. Bellah, Beyond Belief, ( New York: Harper & Row Publishers, 1970), h. 151.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda